Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Membaca hasil penelitian di salah satu jurnal ternama, menemukan hasil penelitian bahwa para pensiunan itu rata-rata berpulang diwaktu tiga tahun sampai lima tahun setelah mereka purnabakti. Dan, setelah melampaui rerata itu, mereka yang masih bekerja atas dasar kemampuan otak, memiliki peluang hidup lebih panjang, disusul mereka yang bekerja mengandalkan aktivitas fisik. Sementara yang tidak memiliki aktivitas keduanya, berpeluang lebih cepat pulang. Tentu saja penelitian ini masih sangat dini untuk dipercaya tingkat validitasnya , sebab banyak variabel yang tidak tercover. Namun tulisan kali ini tidak ingin membahas itu, justru yang menjadi titik focus adalah istilah “pulang” untuk kata ganti meninggal; itupun focus pembahasan ada pada ranah filsafat.
Kata "pulang" seringkali diasosiasikan dengan akhir: akhir dari perjalanan, akhir dari penantian, akhir dari segala sesuatu yang bersifat duniawi. Namun dalam dimensi spiritual, "pulang" justru adalah awal. Ia adalah awal dari penyatuan, awal dari keutuhan, awal dari perjalanan yang sesungguhnya, dan atau perjalanan yang tak lagi dibatasi oleh ruang, waktu, dan bentuk. Dalam pengertian ini, pulang bukanlah kematian dalam arti fisik semata, tetapi kembalinya jiwa kepada asalnya, kepada fitrah, kepada Tuhan sebagai pemilik.
Manusia lahir bukan dari kehampaan. Ia berasal dari sumber yang mulia, dari Tuhan sendiri. Dalam banyak ajaran spiritual, hidup di dunia adalah pengembaraan sementara. Dunia hanyalah tempat ujian, tempat persinggahan sementara bagi jiwa yang akan kembali. Dan masih banyak lagi istilah yang berkonotasi sama, yaitu bukan akhir dari sesuatu. Maka “pulang” bukanlah hilang. Ia adalah penyatuan kembali. Seperti air hujan yang kembali ke samudera setelah lama mengalir sebagai sungai. Ia tidak musnah. Ia justru kembali ke asal yang lebih luas, lebih dalam, lebih utuh.
Kematian adalah misteri terbesar bagi manusia. Sebagian menganggapnya akhir dari segala sesuatu, tetapi bagi yang hidup dengan kesadaran spiritual, kematian justru adalah awal dari kehidupan yang sebenarnya. Ia adalah kelahiran kedua, yaitu lahir ke dalam dunia yang tidak lagi terikat oleh materi. Oleh sebab itu Jalaluddin Rumi berkata "Kamu tidak mati, kamu hanya berganti ruang."
Pandangan seperti ini bukan sekadar puisi. Ia berakar pada pemahaman mendalam tentang ruh sebagai entitas yang tak hancur. Tubuh memang binasa, tetapi jiwa melanjutkan perjalanan. Dalam Al-Qur’an, digambarkan bahwa setelah mati, manusia memasuki alam barzakh, lalu hari kebangkitan, lalu akhirat. Semua itu bukan akhir, tapi tahap-tahap awal menuju keabadian. Maka mati bukan pulang untuk beristirahat, melainkan pulang untuk memulai kehidupan yang kekal.
Pulang tidak selalu harus menunggu kematian. Banyak orang yang secara spiritual telah “pulang” bahkan ketika mereka masih hidup. Mereka yang menemukan kembali fitrah, menundukkan egonya, dan hidup dalam kehadiran Tuhan, sejatinya telah pulang. Mereka tidak lagi tercerai dari asal mereka, meskipun raga masih tinggal di dunia. Ini yang disebut oleh para sufi sebagai fana’, yaitu melebur dalam Tuhan. Mereka tidak menunggu maut untuk pulang, tetapi sudah menjalani kehidupan sebagai hamba yang telah kembali. Mereka bebas dari rasa takut, bebas dari keserakahan, karena tahu bahwa dunia bukan rumah sejati mereka. Di sini Jalaludin Rumi berpesan "Ketika kamu mati sebelum mati, kamu akan tahu bahwa kematian bukanlah apa yang kamu pikirkan." Kesadaran ini adalah pintu. Mereka yang melewatinya akan memandang hidup dengan cara yang berbeda. Setiap hari adalah perjalanan, setiap napas adalah bekal, dan setiap ujian adalah kesempatan untuk lebih dekat pada Tuhan.
Mengapa para filusuf mengatakan pulang disebut sebagai awal dari perjalanan sejati. Karena di sanalah kita menemukan keutuhan yang selama ini kita cari. Di dunia, manusia hidup dalam fragmentasi: terpecah oleh keinginan, tuntutan sosial, dan kekhawatiran. Kita mengejar sesuatu yang kita sendiri tak tahu ujungnya. Kita merasa ada yang kurang, tetapi tidak tahu apa itu yang kurang.
Pulang adalah momen di mana semua potongan jiwa bersatu kembali. Kita tidak lagi mencari di luar, karena telah menemukan di dalam. Tuhan bukan lagi konsep jauh di langit, melainkan kehadiran nyata di dalam hati. Penyatuan ini digambarkan bukan dengan logika, tapi dengan cinta. Tuhan adalah kekasih, dan jiwa manusia adalah perindu abadi. Pulang adalah saat pertemuan itu terjadi. Dan di sanalah perjalanan baru dimulai: perjalanan dalam keabadian, dalam cinta, dalam kedekatan yang tak terputus.
Di dunia, perjalanan manusia adalah perjuangan. Kita berusaha, kita jatuh, kita bangkit. Tetapi semua itu hanyalah persiapan. Seperti siswa yang belajar di kelas sebelum lulus dan memasuki kehidupan sebenarnya. Dengan “pulang” perjalanan sejati dimulai. Di sana tidak ada lagi pencarian, melainkan perjumpaan. Tidak ada lagi kegelisahan, melainkan ketenangan. Tidak ada lagi keterpisahan, melainkan keintiman abadi. Oleh sebab itu perjalanan sejati bukanlah tentang ruang atau waktu, tetapi tentang keadaan jiwa. Ini adalah perjalanan dari “mengetahui” menjadi “mengalami”; dari sekadar percaya, menjadi bersatu.
Setiap manusia, sadar atau tidak, sedang menuju pulang. Mereka yang tenggelam dalam dunia pun pada akhirnya akan pulang. Perbedaannya hanya pada kesiapan. Ada yang pulang dengan tangan kosong, ada yang membawa bekal. Karena itu, kehidupan sejati dimulai dengan kesadaran. Bahwa hidup ini bukan untuk mengejar dunia, tapi untuk mempersiapkan pulang. Mereka yang sadar akan hidup dalam ketenangan, karena tahu ke mana ia akan pergi. Pertanyaan sekarang adalah “sudahkah kita siapkan bekal untuk pulang”. Jawabannya ada dalam sanubari kita masing-masing. Karena perasaan kurang yang paling menyesakkan adalah manakala kita selalu merasa kurang akan bekal menuju “pulang”. Disana pula letak “keridho-an” dari Yang Maha Kuasa sebagai penyelamat segala mahlukNYA.
Salam Waras
Tulis Komentar