(menjaga marwah kemanusiaan)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Saat menghadiri undangan para siswa yang empat puluh lima tahun lalu masih menggunakan pakaian seragam putih biru dan putih abu-abu, serta masih sangat aktif, bahkan terkadang melampaui batas. Kini mereka sudah berusia di atas enampuluh tahun, bahkan sudah pada pensiun. Tetapi mereka tetap amat sangat menghormati guru-gurunya. Sebagai contoh saat dalam perjalanan yang cukup memakan waktu, menuju obyek wisata sejarah; ada guru sepuh yang terganggu kesehatannya. Mereka bahumembahu merawat sang guru, seperti merawat orang tuanya sendiri. Ditengah arus distorsi terhadap penghargaan pada guru; mereka tetap menunjukkan entitas yang berbeda. Mereka mengesampingkan perbedaan keyakinan personal, tetapi berbicara atas kemanusiaan, yang hidup dalam keberagaman.
Mereka memposisikan guru bukan hanya pengajar di ruang kelas, tapi juga penjaga nilai, penuntun akal budi, dan pengukir masa depan. Walupun saat ini banyak kita jumpai di tengah masyarakat di balik semua jasanya, guru justru kerap menjadi korban sistem yang lebih mengutamakan angka dibandingkan nilai, administrasi dibandingkan makna, dan efisiensi dibandingkan hubungan manusiawi.
Dalam perspektif filsafat manusia, guru adalah lebih dari sekadar profesi. Ia adalah bagian dari proses eksistensial manusia menjadi diri. Seorang anak tidak lahir sebagai manusia yang utuh; ia dibentuk melalui relasi dengan orang lain; dan salah satu relasi terpenting itu adalah dengan guru. Guru hadir sebagai pemandu dalam pencarian makna, menuntun manusia muda memahami dunia dan diri mereka sendiri. Tanpa guru, kita hanya memiliki potensi; dengan guru, potensi itu diberi arah.
Filsuf Martin Buber membedakan dua jenis hubungan manusia: Aku-Engkau dan Aku-Itu. Dalam relasi Aku-Engkau, kita melihat sesama sebagai subjek yang setara dan patut dihargai. Sebaliknya, dalam relasi Aku-Itu, kita memperlakukan orang lain sebagai alat atau objek. Sayangnya, banyak guru hari ini mengalami relasi Aku-Itu dari masyarakat dan sistem pendidikan. Mereka dibebani tugas administratif yang tak ada habisnya, diukur hanya lewat hasil ujian, dan kadang diperlakukan layaknya pegawai pabrik. Tidak heran jika kelelahan mental dan kehilangan makna menjadi gejala umum di kalangan guru.
Filsuf Emmanuel Levinas berbicara tentang pentingnya wajah dalam hubungan antarmanusia. Ketika kita memandang wajah orang lain, kita dipanggil untuk bertanggung jawab atasnya. Wajah guru adalah wajah yang telah puluhan tahun selalu memberi, tetapi tidak berharap untuk diberi. Tanggung jawab kita pada guru bukan hanya sekadar menggaji layak. Lebih dalam dari itu, kita memiliki tanggung jawab moral untuk merawatnya secara emosional, sosial, dan spiritual. Guru bukan robot pengajar, tapi manusia yang juga membutuhkan empati, dukungan, dan pengakuan.
Dalam sistem pendidikan modern, guru kerap terjepit antara idealisme dan tuntutan sistem. Kurikulum yang kaku, target yang menekan, dan budaya yang menilai segalanya dari hasil tes membuat pendidikan kehilangan rohnya. Filsuf Paulo Freire mengkritik sistem seperti ini sebagai “pendidikan gaya bank”, di mana para siswanya dianggap celengan kosong yang harus diisi, dan guru hanya sebagai pengisi. Padahal pendidikan sejati adalah relasi yang hidup antara manusia. Guru adalah rekan dialog yang membangkitkan kesadaran kritis murid. Ketika kita merawat guru, kita bukan hanya menolong individu, tapi juga memulihkan ruh pendidikan itu sendiri. Guru adalah salah satu profesi yang paling bermakna, karena seluruh hidupnya diabdikan untuk orang lain.
Merawat guru adalah menjaga agar mereka tetap menemukan makna dalam pekerjaannya. Kita perlu menciptakan ruang di mana guru bisa berkembang, dihargai, dan diberi kesempatan untuk terus memperbaharui ilmunya. Karena guru yang merasa dimanusiakan akan melahirkan generasi yang lebih manusiawi.
Seringkali kita bicara soal masa depan bangsa, namun melupakan orang-orang yang justru mempersiapkan masa depan itu setiap hari: itulah para guru. Merawat guru bukan sekadar program pemerintah atau slogan seremoni Hari Guru. Ini adalah panggilan etis setiap insan yang pernah disentuh oleh pengajaran.
Pada akhirnya, pertanyaan yang perlu kita renungkan bukan hanya “apa yang sudah guru berikan kepada kita?”, tapi juga “apa yang telah kita lakukan untuk merawat mereka?”. Filsafat manusia mengajarkan bahwa manusia sejati adalah mereka yang peduli, yang sadar bahwa keberadaannya bergantung pada yang lain.
Terimakasih untuk semua wahai anakdidikku, kalian telah menunjukkan sikap terbaikmu terhadap kami. Semoga keberkahan hidup akan selalu melimpah kepada kalian. Kami guru merasa bangga jika kalian menjadi orang sukses dalam berkehidupan, dan kami orang pertama yang merasa sedih jika kalian mendapatkan musibah kehidupan. Selamat menjadi orang-orang baik.
Salam Waras
Tulis Komentar