HIDUP INI DIAWALI DENGAN MEMBUKA MATA, DIAKHIRI DENGAN MENUTUP MATA

$rows[judul]

(Sebuah Tinjauan Filsafat Manusia)

Oleh: Sudjarwo

Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Beberapa waktu lalu mendapat kiriman hasil kreasi seorang murid empat puluh lima tahun lalu, yang sekarang sudah menjadi creator handal, dengan caption seperti judul di atas. Ada rasa bangga, senang, dan haru membacanya; karena itu dibuat oleh anak cerdas yang empat puluh lima tahun lalu masih berpakain putih abu-abu; dan sekarang sama-sama sudah bercucu. Akhirnya atas ijin yang bersangkutan penulis mencoba menelusuri dari sisi filsafat manusia. berdasarkan kajian literature baik digital maupun konvensional, ditemukan uraian sebagai berikut:  Ungkapan “Hidup diawali dengan membuka mata, diakhiri dengan menutup mata” adalah kalimat yang secara sederhana menggambarkan perjalanan hidup manusia: lahir, tumbuh, mengalami, dan mati. Namun jika ditelusuri secara filosofis, ungkapan ini menyimpan makna eksistensial yang dalam. Dalam filsafat manusia, hidup bukan sekadar rentang biologis antara kelahiran dan kematian, melainkan sebuah dinamika keberadaan yang melibatkan kesadaran, kebebasan, kehendak, makna, dan tujuan. 

Dalam filsafat, manusia tidak sekadar dipahami sebagai makhluk biologis, melainkan sebagai makhluk eksistensial. Eksistensi manusia adalah keberadaan yang sadar, reflektif, dan  mampu mempertanyakan dirinya sendiri. Filsuf Ernst Cassirer menyebut manusia sebagai animal symbolicum, yaitu makhluk yang hidup dalam dunia simbol, makna, dan budaya. Dengan membuka mata, manusia tidak hanya melihat dunia secara indrawi, tetapi menafsirkan realitas: memberi nama, menyusun konsep, membangun bahasa dan budaya.

Membuka mata bukan sekadar gerakan refleks bayi yang baru lahir, melainkan simbol lahirnya kesadaran pertama. Dari titik inilah, manusia mulai “hadir” ke dalam dunia. Menurut Edmund Husserl, pengalaman manusia bersumber dari kesadaran. Kesadaran selalu “akan sesuatu” (intentionality). Ketika seorang bayi membuka mata, ia belum memahami apa yang ia lihat, tetapi mulai membentuk kesadaran prareflektif yang kelak berkembang menjadi persepsi, pemahaman, dan refleksi diri.

Setelah membuka mata, manusia tidak langsung menjadi makhluk dewasa secara penuh. Ia mengalami proses menjadi, yang melibatkan pengalaman, pembelajaran, kegagalan, dan pertumbuhan eksistensial. Oleh sebab itu Martin Heidegger menyebut manusia sebagai Dasein—ada-yang-menyadari-keberadaannya. Dasein selalu “menuju ke depan”, mengada dalam kemungkinan-kemungkinan, dan menyusun proyek-proyek kehidupannya. Dengan membuka mata pada dunia, manusia memasuki dunia historis, sosial, dan personal yang harus ia hadapi dan bentuk secara otentik.

Jika membuka mata adalah awal kesadaran, maka menutup mata adalah akhir kesadaran duniawi. Dalam pandangan filosofis, kematian bukan semata-mata akhir biologis, tapi juga peristiwa eksistensial yang memberi makna pada kehidupan. Oleh karena itu Heidegger menyebut manusia sebagai “ada-untuk-mati”. Artinya, kesadaran akan kematian memberi bobot pada setiap tindakan manusia. Tanpa kematian, hidup tidak akan berarti. Dengan menyadari bahwa kita akan menutup mata suatu hari nanti, kita menjadi lebih sadar untuk hidup secara otentik dan bermakna.

Viktor Frankl, seorang psikiater dan filsuf eksistensialis, berpendapat bahwa manusia terdorong oleh kebutuhan akan makna (will to meaning). Bahkan dalam penderitaan dan keterbatasan, manusia tetap bisa menemukan makna hidup. Pengetahuan akan kematian memperdalam kesadaran kita akan nilai dari waktu, relasi, dan kontribusi kita pada dunia.

Perjalanan manusia dari membuka hingga menutup mata mencerminkan keseluruhan dinamika eksistensi: dari tidak sadar menjadi sadar, dari potensi menjadi aktual, dari pengembaraan menuju peristirahatan. Dalam pandangan Hegel, kehidupan manusia adalah  proses dialektika: tesis, antitesis, dan sintesis. Manusia bertumbuh melalui konflik, kontradiksi, dan penyatuan kembali. Membuka mata adalah tesis, menghadapi dunia adalah antitesis, dan makna hidup tercapai sebagai sintesis yang membawa ke penyatuan atau transendensi.

Hidup adalah jeda singkat di antara dua keheningan: saat sebelum mata terbuka dan sesudah ia tertutup. Dalam rentang yang fana itu, kita belajar melihat; bukan sekadar dengan mata, tetapi dengan kesadaran yang terus tumbuh. Membuka mata bukan hanya tanda lahir, melainkan awal dari pencarian makna, dan menutupnya kelak bukan sekadar akhir, melainkan kepulangan yang sunyi. Maka, hidup sejatinya adalah perjalanan untuk memahami apa arti melihat, merasakan, dan menjadi. Sebab hanya mereka yang sungguh “terjaga” selama hidupnya, yang dapat menutup mata dengan damai.


Salam Waras

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)