(Sebuah Tafsir Eksistensial atas Sunyi-Nya Tuhan)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Kebiasaan kami berdua suami-istri yang sudah lansia ini; setiap menunggu waktu subuh selalu berbincang berdua. Persoalan yang dibahas dari yang remeh-temeh sampai yang super berat. Sama halnya dengan subuh itu; teman hidup ini menceritakan bagaimana menderitanya teman sesama pensiunan, beberapa waktu lalu sakit kena kanker otak. Dan, untuk beberapa lama harus menjalani operasi otak di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Sekarang teman tadi menderita penyakit lain lagi yang tidak kalah membahayakan, sampai-sampai harus menjual semua hartanya guna biaya pengobatan. Terakhir ada tanah yang ditawarkan untuk dijual dengan sangat murah, letaknya dipinggir kota; dan itupun dilakukan sebagai harta terakhir untuk biaya pengobatan.
Sedih, haru dan entah apa lagi berkecanuk di dada kami berdua; ikut prihatin atas itu semua. Pada posisi itu kami berdua seperti mendapatkan pembelajaran hidup dari peristiwa yang menimpa teman tadi. Ternyata rahasia Tuhan akan sesuatu yang terjadi pada mahluknya tidak ada yang bisa menerkanya.
Manusia, sepanjang sejarahnya, selalu menuntut jawaban dari langit. Ia memandang ke atas dengan segumpal harapan yang meronta di dada, meminta agar semesta berpihak, agar doanya dijawab dengan cara yang mudah dimengerti. Tapi berkali-kali yang terjadi justru sebaliknya: kehilangan, derita, luka, keterasingan. Maka muncullah bisikan getir dalam benak manusia yang tak terhitung jumlahnya: jika Tuhan mencintaiku, mengapa jalan hidupku penuh derita? Jika kasih sayang-Nya abadi, mengapa tangisku tak reda?
Inilah dilema eksistensial yang tak henti memburu kesadaran manusia dari sejak dahulu. Sebab cinta, dalam benak manusia, selalu identik dengan kehadiran, dengan kelegaan, dengan penguatan. Tapi bagaimana jika cinta Tuhan hadir dalam bentuk sebaliknya? Bagaimana jika cinta itu justru menyamar sebagai penderitaan yang tampak takberkesudahan? Di sinilah bahasa cinta Tuhan menjelma menjadi sesuatu yang paradoksal, asing, dan tak jarang ditolak oleh akal yang terbiasa dengan logika sebab-akibat yang dangkal, dan terkadang sesat.
Filsafat kontemporer telah lama bergumul dengan absurditas hidup. Dalam dunia yang semakin mengaburkan batas antara makna dan kekosongan, manusia tak lagi bisa bersandar pada keyakinan sederhana bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja. Maka muncul kebutuhan mendesak untuk menafsir ulang apa itu cinta, khususnya cinta Tuhan, dalam lanskap kehidupan yang compang-camping. Apakah cinta Tuhan itu selalu harus bermakna kebahagiaan? Apakah penderitaan selalu tanda ketiadaan kasih? Ataukah cinta Tuhan justru hadir dalam bentuk yang tak kita mengerti, bahkan bias jadi menurut ukuran kita itu menyakitkan?
Ketika manusia menuntut bukti cinta dari langit, seringkali ia menggunakan ukuran yang sama dengan ukuran cinta manusia: hadiah, pengakuan, kehadiran, perlindungan, kenyamanan. Tapi Tuhan, dalam keberadaan-Nya yang tak terbatasi oleh ruang dan waktu, tak terikat oleh logika cinta manusia yang penuh syarat. Ia mencintai tidak dengan memberi kenyamanan, melainkan kesadaran. Ia tidak selalu menyelamatkan, tapi justru membiarkan luka terjadi agar kedewasaan lahir. Maka bahasa cinta Tuhan tak berbunyi dengan lembut, tetapi kadang menyerupai teriakan sunyi di tengah malam yang panjang. Sunyi yang membuat manusia gelisah, tapi sekaligus memaksanya untuk melihat ke dalam.
Bahasa cinta Tuhan kadang hadir dalam bentuk keterasingan yang dalam. Di saat semua yang dicintai pergi, di saat semua yang dibanggakan runtuh, manusia mendadak dipaksa untuk berhadapan dengan dirinya yang telanjang. Tak ada lagi topeng. Tak ada lagi sandaran. Hanya ada kesendirian yang menyiksa, yang pelan-pelan menelanjangi ego. Dan di titik itu, ketika semua yang palsu luruh, muncullah kemungkinan untuk mengenal Tuhan dengan cara yang baru; bukan sebagai sosok penyelamat yang selalu menjawab doa, tetapi sebagai sumber makna dalam kekacauan.
Salah satu jebakan terbesar dalam memahami cinta Tuhan adalah anggapan bahwa cinta harus selalu terasa menyenangkan. Padahal, cinta yang sejati bukan tentang rasa, tetapi tentang keberanian untuk mengarungi proses yang tak mudah. Manusia yang ingin memahami cinta Tuhan harus bersedia melepaskan ekspektasi dan menerima kenyataan hidup apa adanya, bukan karena pasrah, tapi karena sadar bahwa dalam ketidaksempurnaan hidup, ada pelajaran yang tak bisa ditukar dengan kebahagiaan instan.
Dalam filsafat kontemporer, kerap muncul gagasan bahwa penderitaan bukanlah kebetulan, melainkan jendela menuju dimensi yang lebih dalam dari eksistensi. Penderitaan membuka celah dalam kesadaran manusia, mempertemukannya dengan absurditas hidup, dan memaksanya untuk bertanya secara jujur: apa arti hidup ini jika semua yang aku inginkan tak terpenuhi? Apa makna cinta jika itu tidak berwujud kenyamanan? Di titik inilah manusia bisa mulai membaca bahasa cinta Tuhan yang berbeda dari penglihatannya. Ia mulai memahami bahwa apa yang selama ini tampak sebagai hukuman, bisa jadi adalah bentuk kasih yang tertinggi, kasih yang tak ingin kita tetap kecil dan nyaman, tetapi berkembang, meski lewat luka.
Tuhan, dalam cinta-Nya yang misterius, kadang mencintai dengan cara mengambil. Bukan karena Ia kejam, tetapi karena manusia terlalu terikat pada hal-hal yang semu. Apa yang dicintai manusia sering kali bukan sesuatu yang membawanya kepada kebenaran, tetapi justru menjauhkannya. Maka Tuhan hadir bukan sebagai pemenuh keinginan, tetapi sebagai pembebas dari keterikatan. Ia merobohkan berhala-berhala kecil dalam hati manusia, seperti; ambisi, ego, relasi, bahkan doa-doa yang penuh nafsu; agar manusia kembali pada keheningan yang murni, tempat di mana cinta sejati bisa dikenali tanpa syarat.
Ketika manusia berhenti menuntut cinta Tuhan dalam bentuk yang bisa dilihat, saat itulah ia mulai benar-benar mencintai. Ia tak lagi mencari bukti, karena keberadaannya sendiri sudah menjadi jawaban. Ia tidak lagi bertanya "mengapa aku menderita", tetapi "apa yang sedang diajarkan padaku". Ia tidak lagi memohon agar hujan berhenti, tetapi belajar menari dalam badai. Dan dari sana, dari keberanian untuk tetap hidup dalam absurditas, ia menemukan makna yang lebih besar dari kebahagiaan: yaitu kebijaksanaan.
Maka jika hari ini kita merasa ditinggalkan, jika doa kita terasa membentur langit yang bisu, jangan buru-buru menyimpulkan bahwa Tuhan tak peduli. Mungkin, justru di sanalah cinta-Nya sedang bekerja. Mungkin Tuhan sedang menghapus satu demi satu ilusi dalam dirimu agar kamu melihat-Nya dengan cara yang baru. Mungkin Tuhan sedang mengosongkan ruang di hatimu agar bisa diisi oleh sesuatu yang lebih kekal daripada keinginan sesaat.
Bahasa cinta Tuhan memang sering berbeda dengan yang kita lihat. Tetapi bukan berarti Tuhan tak mencinta. Hanya saja, mungkin kita belum belajar mendengar dengan cara yang baru. Sebab untuk memahami cinta yang ilahi, dibutuhkan hati yang tak hanya ingin menerima, tetapi juga rela melepaskan. Semoga teman yang sedang sakit tadi mendapatkan jalan terbaik dari Tuhan; karena sejatinya kita hadir di dunia ini diminta menjalani kodratNYA.
Salam Waras.
Tulis Komentar