MITRA TV LAMPUNG. COM
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Akhir pekan ini matahari memancarkan sinarnya sangat terik sekali. Saat membersihkan halaman rumah pusaka bagian depan, bertemu dengan seorang bapak yang bekerja sebagai pengumpul bahan bekas. Saat beliau istirahat sejenak ditepi jalan, kesempatan itu digunakan oleh penulis untuk berbincang- bincang; ternyata usia beliau sudah tidak muda lagi. Namun, karena tuntutan perut keluarga, maka tidak ada jalan lain kecuali bekerja dan bekerja sepanjang hari. pedoman beliau sekalipun kerja sudah tak mampu, namun uang masih perlu; maka tidak ada jalan untuk menyerah; yang ada hanya terus maju. Jadi ingat, beberapa waktu lalu ada teman yang pensiunan ASN, tentu saja beliau ini sudah tidak muda lagi, berprinsip sama dengan bapak di atas. Beliau masih harus aktif bekerja karena membiayai si bungsu yang masih kuliah tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi negeri papan atas negeri ini. Bedanya bapak pensiunan ini melanjutkan bertani di desa istrinya dengan bertanam kelapa sawit; tentu model tani berdasi, namun tetap saja namanya bertani harus banting tulang menyingsingkan lengan. Sebab, jika tidak itu yang beliau lakukan maka hasil kebon akan dicuri orang. Alasan inilah menjadi pembenaran dirinya yang ada pada posisi “uang masih perlu, walau kerja sudah tak mampu”. Dari hal inilah terinspirasi untuk menulis ulang kembali tema itu dari kacamata filsafat.
Dunia modern adalah arena tuntutan yang tak kunjung habis. Di tengah dentingan mesin industri dan bisik-bisik algoritma digital, manusia menjadi roda yang terus berputar tanpa sempat bertanya ke mana arah perjalanannya. Hidup di tengah arus kapitalisme global dan tuntutan produktivitas tak ubahnya seperti berlomba di lintasan yang tak memiliki garis akhir. Namun, suatu ketika, tubuh mulai memberi sinyal. Tulang yang dulu tegak mulai rapuh, mata yang tajam mulai kabur, dan tangan yang cekatan mulai gemetar. Kerja sudah tak mampu; namun, uang masih perlu.
Persoalan ini bukan semata soal ekonomi atau kesehatan, tetapi soal makna eksistensi manusia di tengah lanskap nilai yang berubah. Dalam perspektif filsafat kontemporer, tema ini membuka ruang untuk menyoal kembali relasi antara tubuh, kerja, dan nilai manusia. Pertanyaan yang muncul tak lagi sekadar "apa yang harus dikerjakan", melainkan "apakah makna kerja ketika tubuh sudah tak mampu, tetapi kebutuhan hidup tetap ada" Di sinilah letak ketegangan antara eksistensi dan sistem: bagaimana manusia tetap dianggap bernilai dalam masyarakat ketika ia sudah tidak mampu memenuhi standar produktivitas.
Dunia modern mengukur nilai berdasarkan kemampuan untuk menghasilkan. Siapa yang bekerja keras dianggap mulia. Siapa yang menghasilkan banyak dianggap berhasil. Tapi ketika seseorang tidak lagi bisa bekerja karena usia atau sakit, masyarakat perlahan menjauhkannya dari pusat kehidupan. Ia tak lagi dilihat sebagai kontributor, melainkan beban. Namun, kebutuhan dasar manusia tidak mengenal kata pensiun. Makan, tempat tinggal, kesehatan, dan harga diri; semuanya tetap dibutuhkan. Uang tetap perlu, bahkan ketika bekerja tak lagi mungkin dilakukan.
Dalam perspektif filsafat kontemporer, hal ini bisa dibaca sebagai krisis subjektivitas. Manusia dikonstruksi sebagai subjek produktif. Ketika ia tidak bisa lagi produktif, ia merasa kehilangan jati dirinya. Padahal, eksistensi manusia tidak seharusnya direduksi hanya pada perannya sebagai pekerja. Ada kehidupan di luar kerja. Ada nilai dalam keberadaan itu sendiri. Tetapi sistem sosial-ekonomi yang dominan terus menekan individu untuk menyamakan hidup dengan kerja. Akibatnya, banyak orang tua yang merasa tidak berguna, hanya karena tubuh mereka tak sanggup lagi menyumbang dalam bentuk kerja fisik atau mental yang dapat diuangkan.
Lantas, apakah manusia yang tak mampu lagi bekerja harus menyerah pada kemiskinan dan keterasingan? Filsafat kontemporer tidak menawarkan jawaban moralistik, tetapi membuka ruang refleksi. Barangkali yang perlu digugat bukanlah ketidakmampuan bekerja, melainkan sistem yang menyamakan nilai hidup dengan produktivitas. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: apakah sistem itu adil bagi mereka yang sudah memberikan sebagian besar hidupnya untuk bekerja, lalu pada masa senja justru diabaikan.
Kebutuhan terhadap uang adalah kenyataan yang tak bisa dihindari. Tetapi filsafat mengajarkan bahwa manusia bukan hanya makhluk ekonomi. Ia juga makhluk moral, sosial, dan eksistensial. Jika sistem hanya menyediakan ruang bagi mereka yang bekerja, lalu menutup mata bagi mereka yang tak mampu, maka sistem itu gagal memahami hakikat manusia secara utuh. Dunia bukan hanya milik mereka yang kuat dan sehat. Dunia adalah tempat bersama, di mana yang lemah dan sakit juga berhak untuk hidup dengan martabat.
Masalah ini semakin rumit ketika kita menyadari bahwa tak semua orang memiliki akses yang adil terhadap sumber daya. Ketika tubuh masih kuat, banyak yang hanya bisa bekerja dalam sektor informal tanpa jaminan masa tua. Maka ketika tua datang, mereka tidak punya simpanan, tidak punya jaminan, dan tidak punya ruang untuk bersandar. Di sinilah kekejaman sistem menjadi nyata. Mereka yang sudah bekerja keras sepanjang hidup, tetap harus mencari uang di masa tua, bukan karena ambisi, tetapi karena kebutuhan. Uang masih perlu, kerja sudah tak mampu.
Ada pula dimensi relasional dalam isu ini. Dalam masyarakat yang semakin individualistik, mereka yang tak mampu bekerja sering kali ditinggalkan sendiri. Rasa malu, takut menjadi beban, dan kehilangan harga diri menjadi luka-luka batin yang tak terlihat. Padahal, dalam relasi yang sehat, manusia saling menopang. Yang muda merawat yang tua, dan yang tua membimbing yang muda. Tapi ketika relasi ini dikorbankan demi efisiensi dan kemandirian palsu, manusia menjadi makhluk terasing. Ia tidak hanya kekurangan uang, tetapi juga kekurangan makna dan pengakuan.
Kita perlu mengganti paradigma. Bukan lagi "siapa yang bekerja, dia yang berhak hidup", tetapi "siapa yang hidup, dia berhak hidup layak". Ini bukan utopia, tapi keharusan moral. Sebab jika tidak, kita sedang membangun dunia yang menolak keberadaan kita sendiri ketika usia senja datang. Barangkali pada akhirnya, pertanyaan terdalam dari tema ini adalah: apakah kita siap hidup dalam dunia yang hanya menerima kita ketika kita kuat, dan membuang kita ketika kita lemah? Atau apakah kita bisa membayangkan dunia yang mengerti bahwa lemah pun adalah bagian dari menjadi manusia?. Kita hanya bisa menyerahkannya kepada waktu. Namun ingat pesan bijak para leluhur dulu “jangan memberi supaya dipuji, dan jangan memuji supaya diberi”.
Salam Waras.
Tulis Komentar