TERTAWA SAAT BERSEDIH, MENANGIS SAAT GEMBIRA

$rows[judul]

MITRA TV LAMPUNG. COM

Oleh: Sudjarwo

Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Diskusi bersama mahasiswa pascasarjana memang menarik, dan mengasyikkan; ini terbukti saat diselah-selah bimbingan tugas akhir, diantara mereka ada yang nyeletuk “mengapa kita harus menangis saat bersedih, dan mengapa harus tertawa saat gembira”. Tentu saja pernyataan ini bukan sekedar pernyataan biasa, apalagi pertanyaan humor; akan tetapi pertanyaan yang mengandung unsur pertanyaan filsafat yang sesungguhnya. Tulisan ini mencoba mengungkapnya dari kacamata filsafat kontemporer yang akhir-akhir ini mendapat banyak perhatian dari para penggiat filsafat.

Kehidupan manusia adalah rangkaian pengalaman afeksi yang tidak dapat dipisahkan dari kontradiksi dan ambiguitas. Kita biasa diajarkan bahwa ekspresi emosi haruslah sesuai dengan keadaan: tertawa saat bahagia, menangis saat sedih. Namun, perintah sosial ini seringkali menghilangkan kompleksitas dan kedalaman pengalaman batin. “Tertawalah saat bersedih, dan menangislah saat bergembira” bukanlah sekadar kebalikannya, tetapi sebuah undangan untuk memasuki dimensi afeksi yang lebih luas, di mana emosi tidak lagi dikurung oleh norma dan kepatutan. Di sinilah kita dapat memahami bahwa ekspresi emosi bukan sekadar cerminan keadaan, tetapi juga tindakan pembebasan dan afirmasi eksistensial.

Tertawa saat bersedih mungkin tampak sebagai reaksi yang aneh, sebuah ironi yang menyakitkan. Namun, tertawa dalam kesedihan adalah manifestasi dari sebuah perlawanan terhadap keputusasaan. Tawa yang muncul di saat kita tengah menghadapi kesedihan yang mendalam bukan penyangkalan, melainkan sebuah cara untuk mengatasi dan memberi jarak terhadap penderitaan. Ia memecah kesunyian yang membebani, menembus kebekuan emosi, dan membuka ruang bagi kebebasan batin. Ketika tawa muncul di tengah gelombang kesedihan, ia mengisyaratkan bahwa manusia tidak sepenuhnya menjadi korban dari nasib atau keadaan. Ada kapasitas untuk menegaskan keberadaan, untuk tetap hadir dengan kekuatan yang tak terduga. Tertawa di saat bersedih adalah bahasa tubuh yang mengungkapkan bahwa meskipun dunia menawarkan kesakitan, kita masih dapat memilih sikap dan cara meresponnya.

Lebih jauh lagi, tawa di saat sedih menunjukkan ambiguitas dalam diri manusia: keberadaan emosi yang tidak bisa dikotak-kotakkan menjadi hitam dan putih, bahagia dan sedih, benar dan salah. Ia memperlihatkan bahwa kesedihan dan kegembiraan tidak harus beroperasi secara eksklusif, melainkan dapat saling melengkapi dan menambah kedalaman pengalaman batin  manusia. Dalam tawa yang lahir dari kesedihan, terdapat penghormatan terhadap kompleksitas hidup dan ketidaksempurnaannya. Ini juga merupakan pengingat bahwa realitas tidak selalu konsisten dan dapat dimengerti secara linier. Justru di antara ketidakteraturan itulah manusia menemukan kreativitas dan kebebasan.

Sebaliknya, menangis saat bergembira juga menyimpan makna yang dalam dan paradoksal. Tangisan yang muncul dalam momen kegembiraan adalah simbol dari kepekaan dan intensitas pengalaman. Kegembiraan yang terlalu besar sering kali membebani tubuh dan jiwa sehingga mewujud dalam air mata sebagai pelepasan ketegangan yang mendalam. Tangisan ini bukan kelemahan atau ketidakseimbangan, melainkan bentuk integrasi afektif yang utuh, di mana sukacita dan kesedihan melebur menjadi satu. Ia mengajarkan bahwa emosi manusia bersifat holistik dan saling terkait. Air mata bahagia membuka ruang bagi rasa syukur, kelegaan, dan keterhubungan yang lebih dalam dengan diri sendiri dan Tuhan.

Menangis dalam kebahagiaan mengingatkan bahwa hidup bukan sekadar tentang mencapai tujuan atau keberhasilan yang tampak luar, tetapi juga tentang merasakan kehadiran penuh dari momen itu sendiri. Air mata di tengah kegembiraan menjadi saksi bahwa manusia mampu menerima segala kompleksitas dan kerentanan eksistensialnya. Dalam tangisan bahagia, terdapat penerimaan atas kefanaan, ketidakpastian, dan ketidaksempurnaan yang melekat pada kehidupan. Ini adalah ekspresi kesadaran penuh bahwa sukacita yang sejati selalu membawa fragmen kesedihan, dan begitu pula sebaliknya.

Mempraktikkan tertawa saat bersedih dan menangis saat bergembira adalah tindakan pemberontakan terhadap pembatasan tersebut. Ia mengajak manusia untuk menerima seluruh spektrum afeksi tanpa prasangka, menghargai ambiguitas dan kompleksitas yang melekat dalam tiap momen hidup. Ini adalah bentuk keberanian untuk membiarkan diri terbuka, rentan, dan jujur dalam menghadapi realitas yang tidak pasti. Kebebasan afektif yang demikian membuka pintu bagi hubungan sosial yang lebih tulus dan bermakna, karena ia mengundang empati dan pengakuan atas keunikan pengalaman setiap individu.

Pada akhirnya, ungkapan “Tertawalah saat bersedih, dan menangislah saat bergembira” mengajarkan kita bahwa hidup adalah pengalaman yang tidak bisa dipisahkan dari ambiguitas dan kontradiksi. Emosi manusia adalah jaringan kompleks yang menuntut kita untuk menerima dan merangkul ketidaksesuaian yang ada di dalamnya. Melalui paradoks ini, kita menemukan ruang kebebasan untuk menjadi utuh, jujur, dan otentik, dan menghormati setiap fragmen perasaan tanpa memaksakan konsistensi palsu yang mengasingkan. Dengan keberanian untuk menertawakan kesedihan dan menangisi kebahagiaan, kita mengukuhkan kemanusiaan kita dalam segala ketidaksempurnaannya. Kita belajar bahwa tawa dan tangis bukan hanya ekspresi reaktif, tetapi tindakan afirmasi terhadap hidup yang penuh warna dan keajaiban. Sebuah tindakan yang, pada akhirnya, mengantarkan kita pada pemahaman bahwa kebebasan sejati bukanlah pembebasan dari emosi, melainkan pembebasan dalam dan melalui emosi itu sendiri.

Salam Waras

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)