MENARI DALAM TAKDIR

$rows[judul]

MITRA TV LAMPUNG. COM

Oleh: Sudjarwo

Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Selepas ashar yang hari-hari ini masih tampak siang. Namun sejatinya perlahan tapi pasti Matahari itu berjalan menuju ufuknya. Siang akan berganti senja, dan akan disusul malam; semua berjalan bagai cakra, dan itulah kehidupan. Tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan. Dalam arus deras kehidupan, manusia sering kali berada di persimpangan antara keinginan dan kenyataan. Antara yang diharapkan dan yang terjadi. Dalam setiap denyut nadi, ada kehendak untuk memiliki, untuk mempertahankan, untuk mengontrol arah hidup sesuai kehendak. Namun, semesta tak tunduk pada keinginan. Ia menari dalam irama yang tak dapat ditebak, menyodorkan kenyataan yang kerap tak sejalan dengan harapan. Maka, ketika manusia belajar membiarkan segalanya pergi dan berlalu, menerima yang tidak diinginkan, serta melepaskan yang sangat diinginkan, di situlah ia mulai memahami inti terdalam dari keberadaannya: bahwa hidup bukan tentang memiliki, tetapi tentang mengalami, memahami, dan pada akhirnya, melepaskan.

Manusia adalah makhluk yang didefinisikan oleh kesadarannya. Dalam kesadaran itu, tumbuh keinginan, rasa, harap, serta ketakutan. Keinginan untuk menggenggam kebahagiaan, ketakutan akan kehilangan, harapan akan masa depan, dan penolakan terhadap rasa sakit. Semua itu terjalin dalam jalinan kompleks yang membentuk perjalanan hidup manusia. Namun, kenyataan sering kali menunjukkan bahwa tidak semua hal dapat dikendalikan. Bahkan, dalam banyak hal, apa yang paling diinginkan justru menjadi sumber penderitaan karena manusia menolaknya untuk pergi, atau terlalu takut untuk menerimanya ketika datang tanpa diundang.

Di sinilah muncul paradoks eksistensial: semakin manusia berusaha menggenggam sesuatu, semakin besar kemungkinan ia kehilangan pegangan. Begitu pula dalam hidup, semakin keras manusia menggenggam keinginannya, semakin besar potensi penderitaan saat kenyataan tak berpihak. Maka, penerimaan bukanlah bentuk kelemahan, melainkan keberanian untuk menyadari bahwa hidup tak dapat sepenuhnya dipetakan. Penerimaan adalah bentuk tertinggi dari kebijaksanaan manusia dalam menghadapi misteri semesta.

Namun, menerima bukan berarti pasrah dalam ketidakberdayaan. Menerima adalah tindakan aktif dari kesadaran yang jernih. Ia menuntut kehadiran utuh dalam momen, keberanian untuk melihat kenyataan apa adanya, dan kebijaksanaan untuk tidak mengubah apa yang tidak bisa diubah. Dalam penerimaan, manusia belajar bahwa tidak semua yang tidak diinginkan adalah keburukan, dan tidak semua yang diinginkan adalah kebaikan. Kadang, luka hadir bukan untuk menyiksa, tetapi untuk menyadarkan. Kadang, kehilangan bukan akhir, melainkan awal dari pertumbuhan. Dan kadang, apa yang datang secara tak terduga justru menjadi jalan bagi perluasan jiwa.


Demikian pula dalam melepaskan. Melepaskan bukan berarti menyerah atau tidak peduli. Melepaskan adalah tindakan kasih terhadap diri sendiri dan kehidupan. Ia menandakan kesediaan untuk tidak menahan apa yang sudah waktunya pergi. Dalam melepaskan, manusia belajar bahwa tidak semua yang indah harus dimiliki selamanya. Bahkan, keindahan sejati sering kali hanya bisa dinikmati dalam ketidakkekalan. Manusia yang memahami hakikat ini tidak akan berpegang pada ilusi keabadian. Ia akan belajar mencintai tanpa menggenggam, menikmati tanpa ketergantungan, dan merelakan tanpa kebencian.

Dalam perjalanan batin seperti itu, manusia tidak lagi menilai hidup berdasarkan apa yang ia miliki, tetapi berdasarkan sejauh mana ia mampu hadir dalam setiap momen, meski pahit atau manis. Ia menyadari bahwa hidup bukan sesuatu untuk dicapai, melainkan misteri untuk dijalani. Tidak semua pertanyaan memiliki jawaban. Tidak semua luka butuh penjelasan. Kadang, cukup dengan mengalami, dan membiarkan pengalaman itu membentuk kedalaman makna dalam diri. Dari sinilah lahir manusia yang utuh, bukan karena ia sempurna, tetapi karena ia mampu menerima ketidaksempurnaan itu sebagai bagian dari tarian kehidupan.

Tarian semesta bukanlah tarian yang dapat diprediksi. Ia tidak bergerak menurut kehendak individu, melainkan menurut irama yang lebih luas, lebih besar dari pemahaman rasional. Maka, manusia yang ingin selaras dengannya tidak boleh kaku. Ia harus lentur, bersedia mengubah langkah ketika musik berubah, dan tidak memaksakan koreografi yang sudah usang pada irama baru yang sedang dimainkan. Ini bukan bentuk ketidakjelasan arah, melainkan bentuk tertinggi dari adaptasi dan kebijaksanaan. Menari dalam semesta berarti bersedia bergerak dalam ketidakpastian, menyelaraskan diri tanpa kehilangan jati diri.

Ironisnya, justru ketika manusia tidak lagi berusaha mengontrol segala hal, ia mulai merasakan kedamaian. Ketika ia berhenti mengejar, ia mulai menemukan. Ketika ia bersedia kehilangan, ia mulai mendapatkan. Ini bukan logika transaksional, tetapi logika eksistensial, yaitu sebuah pemahaman bahwa makna tertinggi bukan terletak pada hasil, tetapi pada proses, bukan pada pencapaian, tetapi pada kehadiran. Di sinilah manusia mulai menari, bukan karena ia menguasai panggung, tetapi karena ia meresapi setiap gerakannya, seberapapun kacau atau indahnya.

Dengan demikian, manusia tidak lagi menjadi korban dari hidupnya, melainkan pelaku yang aktif dalam setiap babak kehidupan. Ia tidak dikendalikan oleh keinginannya, juga tidak dikalahkan oleh ketakutannya. Ia menjadi sosok yang matang, yang tidak hanya berani bermimpi, tetapi juga berani kehilangan. Yang tidak hanya mengejar, tetapi juga merelakan. Yang tidak hanya berharap, tetapi juga menerima kenyataan ketika harapan itu tak terwujud.

Pada akhirnya, hidup adalah tarian panjang yang penuh dengan perpisahan dan pertemuan, kehilangan dan penemuan, harapan dan kehampaan. Tidak ada satu langkah pun yang sia-sia jika dijalani dengan kesadaran. Tidak ada satu momen pun yang tidak bermakna jika diterima dengan hati yang terbuka. Dalam setiap gerak, dalam setiap detik, semesta mengundang manusia untuk ikut menari, bukan sebagai penguasa panggung, tetapi sebagai bagian dari harmoni agung yang tak bisa dipahami sepenuhnya, hanya bisa dialami dengan sepenuh hati.


Jadi, biarkan semua pergi dan berlalu. Terimalah yang tidak kita inginkan. Lepaskanlah yang kita ingin. Bukan karena kita lemah, tetapi karena kita cukup kuat untuk menari bersama semesta. Dalam gerak itulah, kita menemukan makna terdalam sebagai manusia, bukan dalam apa yang kita genggam, tetapi dalam apa yang kita relakan. Bukan dalam apa yang kita miliki, tetapi dalam bagaimana kita hadir. Dan di situlah, kita tidak hanya hidup, tapi benar-benar menjadi hidup.

Salam Waras.

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)