(sebuah renungan diri sebagai manusia)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Tulisan ini dibuat saat menghadiri satu reuni lembaga pendidikan tempat penulis empat puluh lima tahun lalu mengabdi. Undangan dihadiri oleh murid-murid saat itu yang sekarang sudah pensiun seperti gurunya. Mereka gegap gempita mengundang dan menyambut gurunya yang sudah renta dan banyak yang sudah tiada. Acara diadakan ditepian Sungai Musi, sungai terbesar yang membelah Kota empek-empek ini. Beberapa puluh tahun lalu tepian sungainya kumuh, tempat berjualan pisang dan sebagainya, yang datang dari daerah-daerah penyanggah. Namun, kini daerah itu menjadi wilayah yang memiliki daya tarik wisata luar biasa. Oleh pemerintah kota daerah ini disulap sedemikian rupa menjadi indah, apalagi dimalam hari. Hanya sayangnya penamaannya menghilangkan unsur local, justru yang ditonjolkan nama asing. Mungkin maksud sipemberi nama agar menjadi “Go Internasional”. Itu sah-sah saja, apalagi semenjak Bandar Udara dikembalikan status Internasional, maka diharapkan turis manca negara akan datang ke sana. Sambil menikmati acara dan syahdunya malam, terbersit dalam pikiran betapa indahnya jika keindahan ini juga dinikmati oleh kalbu filsafat. Untuk itu penulis mencoba menembusnya dari sana.
Sungai Musi yang mengalir tenang membelah kota ini, membawa sejarah, budaya, kehidupan, dan kenangan masyarakat yang menggantungkan hidup padanya. Namun sungai bukan hanya aliran air yang memenuhi fungsi biologis atau ekologis. Dari sudut pandang filsafat manusia, sungai adalah simbol eksistensi, arus waktu, dan cermin relasi manusia dengan alam dan dirinya sendiri.
Filsafat eksistensialisme, memandang manusia sebagai makhluk yang "dilempar" ke dunia tanpa pilihan, lalu ditantang untuk memberi makna pada hidupnya melalui tindakan dan kesadarannya. Begitu pula dengan Sungai Musi. Ia ada, mengalir tanpa permisi, menjadi bagian tak terelakkan dari eksistensi masyarakat Palembang. Keberadaannya bukan hasil pilihan manusia, tetapi suatu fakta yang harus dihadapi dan dijalani. Sungai Musi adalah "ada" dalam bentuk paling nyata: tak terelakkan, memberi kehidupan, sekaligus bisa menjadi sumber malapetaka bila manusia tak menghargai keberadaannya. Sungai Musi bukan hanya "ada" dalam pengertian fisik. Ia juga hadir dalam kesadaran manusia. Ia menjadi tempat beraktivitas, tempat mencari nafkah, tempat menyatu dengan alam, bahkan menjadi bagian dari identitas kultural. Dalam hal ini, Sungai Musi adalah titik temu antara eksistensi alam dan eksistensi manusia. Ia menjadi medan pencarian makna.
Ketika manusia memandang Sungai Musi dan merenungi keberadaannya, sesungguhnya ia sedang memandang dirinya sendiri. Mengapa kita ada, Untuk apa kita hidup, Ke mana kita akan mengalir seperti sungai itu. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial itu mengalir bersama arus Musi, membawa manusia untuk merefleksikan hakikat keberadaannya di dunia ini.
Seorang fenomenolog mengajarkan pentingnya "kembali kepada benda itu sendiri"; maknanya, kita harus menyadari pengalaman-pengalaman kita sebagaimana adanya, tanpa prasangka atau bias. Dalam konteks ini, bagaimana kita menatap Sungai Musi? Apakah kita hanya melihatnya sebagai objek fisik yang mengalir dari hulu ke hilir, ataukah kita merasakannya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang penuh makna.
Bagi nelayan yang menggantungkan hidup dari sungai, Musi bukan sekadar aliran air. Ia adalah mitra hidup, ruang kerja, tempat harapan dan kecemasan bertemu. Bagi anak-anak yang bermain di tepian sungai, Musi adalah taman bermain, dunia petualangan. Bagi para tetua yang memandang dari jendela rumah panggung, sungai adalah memori, tempat kenangan masa muda mengendap di dasar airnya.
Fenomenologi mengajak kita untuk menghargai dimensi subyektif dari pengalaman manusia dengan Sungai Musi. Ia bukan hanya fenomena alam, tetapi juga fenomena kesadaran. Dalam dirinya, terkandung aroma pagi yang lembab, suara percikan air dayung, sorot mata nelayan yang mengintip rejeki, serta nyanyian biduk-biduk yang melaju pelan.
Setiap pengalaman dengan Sungai Musi adalah pengalaman eksistensial yang utuh, yang tak bisa direduksi menjadi data ilmiah semata. Ia adalah pengalaman tubuh, rasa, dan jiwa. Ia menyentuh kita bukan hanya lewat pandangan mata, tetapi melalui pengalaman yang dihidupi. Sungai Musi terus mengalir. Tidak pernah diam. Dalam filsafat Herakleitos, sang filsuf Yunani Kuno, sungai adalah simbol dari ketidaktetapan. "Kita tidak bisa masuk ke sungai yang sama dua kali," katanya, karena air yang mengalir akan selalu berbeda.
Sungai Musi pun demikian. Air yang kita lihat pagi ini bukan lagi air yang sama saat senja. Di dalam arusnya, Musi menyimpan kesadaran tentang waktu yang memberi penanda bahwa segala sesuatu mengalir, berubah, dan tak kekal. Kesadaran ini penting dalam filsafat manusia, terutama dalam menyadari keterbatasan hidup. Bahwa manusia, seperti sungai, mengalir dari kelahiran menuju kematian. Bahwa setiap hari yang kita lewati adalah satu gerakan dalam arus waktu yang tak bisa diulang. Bahwa kesementaraan hidup adalah hakikat, bukan kelemahan.
Namun, dalam arus itu pula terdapat harapan. Karena seperti sungai yang terus mengalir dan memberi kehidupan, manusia pun bisa terus bergerak, mencipta makna baru, dan menyuburkan kehidupan di sepanjang alirannya. Dengan memahami Sungai Musi sebagai simbol waktu, kita diajak untuk tidak lengah; bahwa hidup adalah perjalanan yang mesti dijalani dengan kesadaran penuh.
Bagi orang Palembang, Musi bukan hanya sungai semata, karena dia juga adalah identitas. Dalam dialek lokal, dalam makanan khas, dalam rumah-rumah panggung di tepinya, Musi hadir sebagai roh kehidupan. Jembatan Ampera yang membelahnya bukan hanya infrastruktur, tetapi simbol persatuan dua sisi kota yang berbeda, layaknya relasi manusia yang harus dipersatukan oleh nilai-nilai.
Dalam sejarah, Musi adalah nadi Kerajaan Sriwijaya, pusat perdagangan maritim, tempat bertemunya budaya, bahasa, dan agama. Menafsirkan Sungai Musi adalah menafsirkan akar peradaban nusantara yang terbuka dan kosmopolit.
Sungai Musi. Ia mengalir tanpa banyak bicara, tetapi menyimpan sejuta kisah dan makna. Dari sudut pandang filsafat manusia, Musi adalah guru yang tidak pernah berhenti mengajarkan tentang eksistensi, waktu, makna, etika, dan spiritualitas. Di tengah dunia yang makin tergesa, Musi mengajak kita untuk berhenti sejenak di tepinya, merenung, dan bertanya: apakah kita masih menjadi manusia yang mampu menyatu dengan alam? Ataukah kita telah tercerabut dari akar eksistensi kita?, mari kita jawab dengan jujur dan tidak harus bertanya pada rumput yang bergoyang.
Salam Waras.
Tulis Komentar