KEBERANIAN MELEPAS DAN KERENDAHAN HATI MENERIMA

$rows[judul]

(dialog diri dalam perspektif Filsafat Manusia)

Oleh: Sudjarwo

Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Dini hari menjelang subuh sudah menjadi kebiasaan untuk bangun dan bersuci diri; namun entah mengapa saat itu seperti mendapat dorongan untuk membuka perangkat medsos. Dan, mata terbelalak mendapat berita dari seorang sahabat, bahwa ada teman dekat yang tersandung prahara kehidupan. Hati merasa teriris bagaimana melihat wajah yang selama ini akrab dalam diskusi filsafat, harus berhadapan dengan persoalan hukum. Sekalipun beliau memiliki pengalaman panjang tentang kehidupan ini, namun manakala berhadapan dengan posisi diri sebagai sasaran, tentu manusiawi saja jika tampak gugup.

Manusia, sebagai makhluk berkesadaran, senantiasa berhadapan dengan kenyataan bahwa hidup adalah proses yang tak sepenuhnya dapat dikendalikan. Dalam setiap fase kehidupan, kita dihadapkan pada dua tuntutan eksistensial yang tak terhindarkan: melepas dan menerima. Melepas berarti menghadapi kehilangan, perubahan, atau perpisahan; sementara menerima berarti membuka diri terhadap realitas baru, seringkali yang tak diinginkan. Keduanya membutuhkan kualitas manusiawi yang tinggi: keberanian untuk melepas dan kerendahan hati untuk menerima.

Dalam kehidupan kita sering beranggapan banyak hal tampak seperti milik kita: pasangan, pekerjaan, nama baik, bahkan masa lalu. Namun, seiring waktu, kita menyadari bahwa tidak ada satu pun yang benar-benar berada dalam kendali mutlak kita. Inilah mengapa melepas memerlukan keberanian, bukan karena kita lemah, tetapi karena kita sadar bahwa mempertahankan sesuatu yang sudah tak sesuai dengan kenyataan justru dapat membelenggu jiwa.

Melepas, menurut Kierkegaard, bukan tindakan nihilistik, melainkan wujud keberanian eksistensial untuk menaruh kepercayaan di tengah ketidakpastian. Dalam konteks manusia modern, ini bisa berarti melepas keterikatan terhadap karier yang tidak sejalan dengan nilai-nilai batin, atau berani meninggalkan relasi  yang tidak sehat demi pertumbuhan jiwa. Keberanian eksistensial adalah kemampuan untuk berdiri tanpa sandaran eksternal, dan tetap memilih untuk hidup secara autentik. Melepas di sini bukan sekadar menyerah, melainkan tindakan aktif yang mengafirmasi kebebasan manusia dalam menciptakan makna hidup.

Martin Heidegger beranggapan bahwa manusia adalah Dasein, yaitu makhluk yang "ada-di-dunia", yang sadar akan keberadaannya, termasuk kesadarannya akan kematian. Melepas dalam konteks ini adalah kesadaran akan kefanaan dan keterbatasan. Kita tak bisa menggenggam semuanya karena waktu akan selalu menggiring kita menuju perubahan dan akhir.

Kesadaran akan keterbatasan ini bukan melemahkan, melainkan membebaskan. Melepas bukan berarti kehilangan kontrol, tetapi justru mengakui batas-batas keberadaan kita. Kita tidak bisa memaksa dunia sesuai kehendak, dan dalam pengakuan itu, ada kekuatan yang diluar jangkauan kemampuan manusia. oleh karena itu Heidegger menyatakan bahwa manusia yang otentik adalah mereka yang hidup dalam kesadaran akan kematian. Maka, keberanian sejati adalah berani hidup dalam ketidaktentuan, berani melepaskan ilusi permanensi, dan menerima bahwa kita sedang "menuju akhir", dengan tetap menciptakan makna di sepanjang perjalanan.

Jika melepas membutuhkan keberanian, maka menerima menuntut kerendahan hati. Kerendahan hati bukan kelemahan atau inferioritas, melainkan pengakuan jujur atas kenyataan bahwa kita bukan pusat semesta. Banyak hal terjadi di luar kendali kita, dan menerima realitas seperti apa adanya adalah bentuk kebijaksanaan tertinggi.

Gabriel Marcel, seorang filsuf eksistensialis membedakan antara “memiliki” dan “menjadi.” Menurut Marcel, manusia sering kali mengobjektifikasi dunia dan mencoba memilikinya. Namun dalam kehidupan yang sejati, kita dipanggil untuk menjadi; terlibat, hadir, dan terbuka terhadap apa pun yang diberikan kehidupan. Menerima, dalam kerangka ini, adalah sikap eksistensial dari seseorang yang menyadari keterlibatan dirinya dalam jaringan makna yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Kerendahan hati juga mengandaikan bahwa kita tidak selalu tahu apa yang terbaik. Kadang hal yang tampaknya buruk justru membawa kebaikan. Menerima bukan hanya soal menerima kebaikan, tetapi juga menerima kekecewaan, kegagalan, kehilangan. Dan dalam penerimaan itu, manusia mengalami kedewasaan spiritual.

Secara dialektis, melepas dan menerima bukanlah tindakan yang sepenuhnya berlawanan. Keduanya saling membutuhkan. Tidak mungkin kita benar-benar menerima sesuatu yang baru jika kita masih menggenggam yang lama. Sebaliknya, pelepasan tanpa penerimaan hanya akan melahirkan kehampaan. Oleh karena itu Simone Weil berpendapat kekuatan spiritual tertinggi bukanlah kehendak untuk mendominasi, melainkan pengosongan diri (self-emptying). Dengan melepas ego, kita membuka ruang untuk yang ilahi. Weil menulis bahwa “penerimaan adalah bentuk tertinggi dari perhatian.” Maka menerima bukan sekadar membiarkan, tapi hadir secara penuh terhadap apa yang terjadi. Dengan kata lain dari perspektif ini, melepas dan menerima bukan dua gerakan terpisah, melainkan satu tarian batin, di mana manusia terus bergerak antara keterikatan dan keterbukaan, antara memiliki dan memberi ruang.

Erich Fromm, dalam The Art of Loving, menyatakan bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang “memberi tanpa syarat, tanpa mengharapkan balasan, dan tanpa ingin memiliki.” Dalam cinta seperti itu, melepas menjadi wujud tertinggi dari kasih, dan menerima menjadi wujud tertinggi dari kepercayaan. Relasi yang sehat adalah relasi yang penuh keberanian dan kerendahan hati: berani memberi ruang bagi yang lain untuk menjadi dirinya, dan rendah hati untuk menerima bahwa kita tidak bisa mengontrol jalan hidup mereka.

Dalam Islam, konsep tawakkal (penyerahan diri kepada Tuhan) juga merupakan kombinasi keberanian dan kerendahan hati. Manusia berusaha sekuat tenaga, lalu melepas hasilnya kepada Allah. Ini bukan pasrah, tapi bentuk tertinggi dari kepercayaan dan kedewasaan

Salam Waras  

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)